Selasa, 19 Juni 2012

Memahami Puisi Esai Denny JA

Posted on March 26, 2012
—Sapardi Djoko Damono, Penyair
Ketika Denny JA mengirimkan sajak-sajaknya yang panjang, ada suatu hal yang menyebabkan saya tertarik untuk mengajukan masalah: apa gerangan hubungan antara puisi dan catatan kaki? Seperti yang sudah dijelaskannya sendiri dengan baik, catatan kaki dalam puisinya memiliki fungsi yang utama dalam pemahamannya.
Apakah catatan kaki tidak diperlukan dalam penulisan puisi? Apakah tidak ada penyair mencantumkan catatan kaki dalam puisinya? Jawabannya tentu sudah kita ketahui: ada. Catatan kaki tidak jarang diperlukan untuk memberi penjelasan mengenai berbagai hal seperti nama, peristiwa, bahasa asing, dan berbagai hal lain yang diharapkan bisa membantu pemahaman pembaca. Dan catatan kaki bisa ditulis oleh penyairnya sendiri atau oleh orang lain. Dalam hal terakhir yang disebut itu puisi terjemahan sering menuntut catatan (kaki) untuk memberi keterangan tentang apa saja yang dianggap asing oleh pembaca sasaran.1 Tentu bisa saja catatan kaki tidak usah disertakan dan pemahamannya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
Jadi, apa hubungan antara catatan kaki dan puisi Denny? Dalam pengantarnya, Denny mengatakan bahwa puisinya “tak hanya memotret pengalaman batin individu tetapi juga konteks fakta sosialnya.” Selanjutnya dijelaskannya bahwa karangannya diupayakan “tak hanya menggetarkan hati tetapi juga membantu pembaca lebih paham isu sosial di dunia nyata.” Untuk mencapai sasaran itu catatan kaki yang berasal dari berbagai jenis sumber menjadi sangat penting, menjadi bagian yang sebaiknya tidak dipisahkan dari puisinya. Karena adanya catatan kaki yang fungsinya sedemikian itulah maka saya tertarik untuk mendiskusikan masalah itu di dalam catatan ini.
Karangan Denny ini puisi –itu jelas, karena antara lain ditulis dalam bentuk visual yang berupa larik yang dikumpulkan dalam bait. Dan puisi adalah fiksi, artinya karangan yang bersumber terutama (dan kadang-kadang semata-mata) pada imajinasi dan kreativitas. Betapa dekatnya pun kisah yang ditulis Denny dengan segala sesuatu yang pernah terjadi, semuanya adalah fiksi karena bersumber pada imajinasinya. Bahwa imajinasi biasa dipicu oleh segala bentuk peristiwa, itu tentu kita pahami. Itulah yang saya baca dalam karangan Denny ini.
Namun, Denny menyebut karangannya “puisi esai.” Apakah esai bukan fiksi? Orang mengatakan esai adalah fakta yang disampaikan dengan cara khas, yang mencerminkan opini penulisnya. Esai adalah tulisan yang merupakan tanggapan pribadi terhadap masalah apa pun yang terjadi di sekitarnya; dari sisi itu esai adalah karya sastra.
Karya sastra juga memiliki fungsi serupa.2 Namun, catatan kaki yang dicantumkan dalam buku ini bukan sekadar pandangan pribadi tetapi berasal dari berbagai sumber yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai esai. Kita suka menyebut catatan kaki yang dicantumkan Denny itu sebagai fakta. Banyak di antara catatan kaki itu berupa berita, itu tentu yang menyebabkan kita suka mengklasifikasikan sebagai fakta. Berita selalu dikaitkan dengan fakta, sesuatu yang benar-benar terjadi. Nah, apa jadinya kalau fakta yang ada dalam catatan kaki itu dipakai untuk merujuk fiksi, yakni puisi yang bersumber pada imajinasi Denny?
Berita itu nyata, fiksi tidak; begitu umumnya pandangan kita. Tetapi bukankah “berita” bisa dengan mudah berubah atau diubah menjadi “cerita”?3 Saya mendapat kesan bahwa adanya perbedaan antara fiksi dan fakta, antara berita dan cerita itulah yang menyebabkannya memikirkan suatu jenis karangan yang selama ini belum pernah saya dapati dalam perkembangan kesusastraan kita. Ia menyebut jenis karangannya ”Puisi Esai.”
Dalam hal ini, esai diklasifikasikannya sebagai fakta, dan tentunya puisi sebagai fiksi. Hal yang menarik perhatian saya ketika membaca karangan dan penjelasan Denny adalah bahwa muncul tarik-menarik antara “berita” dan “cerita.” Itulah tentunya yang diinginkannya: ia mengarang lima buah kisah yang ada kaitannya dengan berbagai isu sosial dan budaya, tetapi ia tidak ingin pembaca sekadar menikmati kisahnya. Ia juga menginginkan pembaca “lebih paham isu sosial.” Itulah hakikat catatan kaki yang disertakannya.
Ketika Rendra dan F. Rahardi, misalnya, menulis puisi sosial, mereka juga tentunya menginginkan kita “lebih paham isu sosial” dan menawarkan pandangannya tentang isu tersebut. Namun, kedua penyair itu tidak menyertakan catatan kaki. Dalam salah satu sajak F. Rahardi tentang tuyul, ada kutipan dari kamus tentang definisi tuyul, dan itu bagi saya merupakan sejenis “catatan kaki” juga —yang dimasukkan ke dalam tubuh puisinya.4 Berbeda dengan kedua penyair tersebut, Denny tidak cenderung mengejek atau menyalahkan satu pihak tetapi lebih menunjukkan adanya “ikhtiar perlawanan,” apa pun hasilnya.
Hal itu antara lain menunjukkan bahwa karangan Denny bukan puisi perlawanan atau puisi sosial seperti yang selama ini kita pahami, tetapi sejenis puisi yang khas cara penulisannya, yang disebutnya puisi esai. Kita tahu bahwa di bidang fotografi ada yang disebut foto esai, yakni serentetan foto yang “berkisah” tentang suatu isu —biasanya tanpa catatan kaki dalam ujud seperti yang ditampilkan Denny dalam karangannya.
Dalam ujud seperti yang dipilih Denny ini, puisi esai bisa menjadi pilihan bentuk bagi siapa pun yang memiliki pandangan yang sama. Yang disampaikan dan ditulis Denny berasal dari suatu gagasan yang dengan jelas ia uraikan di dalam pengantar. Yang lebih penting lagi adalah bahwa ia telah mengangkat isu yang sepanjang pengetahuan saya belum pernah diungkapkan dalam puisi kita, seperti isu Ahmadiyah, homoseksualitas, TKW, perbedaan agama, dan dampak peristiwa Mei 1998 dalam sajak-sajak yang panjang lengkap dengan catatan kaki. Banyak penyair kita telah menulis puisi tentang peristiwa Mei 1998, misalnya, tetapi semuanya dalam bentuk lirik – pengungkapan perasaan dan emosi terhadap peristiwa tersebut.
Dalam kelima sajak yang dimuat dalam buku ini, Denny mengklasifikasikan semua itu dalam masalah diskriminasi. Setidaknya, itulah yang menjadikan gagasan dan karangan yang diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.
Saya kira ia tidak perlu risau apakah jenis puisi yang dipilihnya ini akan ditulis juga oleh penyair lain kelak. Ia sudah menawarkan suatu cara penulisan baru, dan itu sudah lebih dari cukup —apalagi dikatakannya bahwa beberapa orang juga akan memilih bentuk serupa dalam karangannya. Jadi kita akan segera menyaksikan sejumlah puisi esai dalam bentuk buku, yang tentu kita harapkan tidak hanya mencantumkan catatan kaki yang informatif tetapi juga menyuguhkan kisah yang, menurut Denny, “menggetarkan hati.”
Kita sambut gagasan Denny yang tertuang dalam buku ini.
Jakarta, Maret 2012
  1. Terjemahan puisi Mao Ze Dong yang dikerjakan oleh Soeria Disastra, Salju dan Nyanyian Bunga Mei, 2010, terbitan Tikar Publishing, bisa dijadikan contoh. Puisi lirik Mao Ze Dong diberi catatan kaki yang rinci, yang menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa sejarah di Tiongkok ketika Mao Ze Dong menulis puisinya. Catatan kaki dalam buku itu disusun oleh penerjemahnya, tentu dengan maksud untuk memberi keterangan sejarah yang dianggap diperlukan tentang sejumlah lirik ringkas itu.
  2. Saya mengungkapkan masalah itu dalam “Membaca Esai,” salah satu tulisan dalam buku esai saya, Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan?, Sekolah Pascasarjana, Institut Kesenian Jakarta: 2011.
  3. Masalah itu saya singgung dalam “Berita dan Cerita,” salah satu tulisan dalam buku saya, ibid.
  4. Baca F. Rahardi, Tuyul: Kumpulan Sajak 1985-1989, Pustaka Sastra: 1990.
Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar